Cara Menghadapi Trauma dan Aib Versi Anton


Sudah tiga hari sejak gua mendapatkan sebuah masalah yang gua anggap bisa besar di kemudian hari. Masalah ini berhasil ngebuat gua takut bukan main, karena gua pernah mengalaminya dulu. Sungguh, gua gak mau orang-orang menertawakan aib gua lagi.

Sejak trauma yang gua dapatkan waktu SMP, gua jadi terus bergumul apakah gua masih harus hidup atau tidak. Tiap pagi gua harus berperang melawan pikiran dan tubuh gua sendiri untuk pergi ke sekolah. Gua tentu gak mau menghadapi semua teman sekelas gua yang tiba-tiba menjauhi gua karena mengetahui sebuah rumor yang kejam. Gua menghadapinya tanpa seorang teman yang bisa support gua di saat itu. Seingat gua, gua juga gak cerita ke keluarga gua. Andai gua merasakan momen itu di jaman sekarang, gua mungkin bisa mencari solusi dari google, mungkin seperti home schooling, bawa ke pengadilan dan semacamnya. Tapi jaman itu beda, gua harus menerima bullying dan bertahan hidup hingga lulus SMP, lalu pindah sekolah dan memulai segalanya lagi. Saat itu lah gua merasakan konsep "memulai kembali" sangat lah menyenangkan.

Hidup gua berlanjut, tentu saja dengan trauma dan depresi, gua pun belajar kalau gua harus bisa terbebas dari rumor seperti itu. Dengan apa? Cara gua adalah: dengan menyebarkannya sendiri, atau mengolok-olok diri sendiri. Entah bagaimana, cara ini secara tak sadar berjalan otomatis setelah gua pindah sekolah. Jadi saat gua berada di lingkungan baru, gua harus secara perlahan terbuka tentang hal yang biasanya dianggap orang lain memalukan. Benar-benar harus perlahan, dan pertama-tama mereka harus melihat gua sebagai orang yang tidak menyebalkan, bukan ancaman, jadinya gua bisa diterima. Tapi tetap, gua tak perlu bahas tiap hari, cukup terbuka saat ditanya saja, secara tersirat, tidak blak-blak-an. Yup, sangat rumit, namun tak perlu ada ketakukan lagi terhadap rumor-rumor meresahkan seperti jaman SMP itu.

Gua pun menjalani hari-hari dengan berpikir kalau gua tak akan mendapatkan masalah serupa lagi. Sayangnya tidak. Di era social media sekarang, makin mudah aib yang bisa terbongkar. Cakupannya bukan hanya di lingkungan kita tinggal, tapi satu Indonesia. Sekali aib ini diminati massa, maka akan viral. Hal ini sebenarnya sangat bagus untuk mengungkap kejahatan yang sering dilakukan orang lain, tapi tentu saja ada beberapa kasus yang hanya menjadi bahan olok-olok. Dan tak seluruh rakyat Indonesia bisa mengerti itu, sebagian lebih asyik menghakimi dan menghujat tanpa mendalami kasus tersebut.

Tiga hari kemarin gua kembali menemukan seseorang yang memegang aib baru gua. Begitu memalukan jika sampai tersebar luas, bahkan sudah tersebar di inner circle-nya. Seketika perasaan gua jadi kacau balau, karena tentu saja mengingat trauma masa lalu. Depresi muncul bukan main, ngebuat tiga hari gua jadi tak produktif lagi. Ini benar-benar serangan mental yang sangat ingin gua hindari.

Selama ini gua sudah praktek untuk menghadapi rasa malu gua saat ada orang-orang yang ingin menemukan kelemahan gua. Urat malu gua benar-benar sudah putus (gua kira). Gua selalu menjadikan diri gua sebagai bahan lelucon, dan terkadang gua merasa tak punya batasan saat mereka benar-benar ingin menertawakan gua dengan cara apa pun. Bahkan beberapa teman gua sempat bilang kalau gua harus menjaga harga diri gua, yang mana tak pernah gua pedulikan. Untuk apa? Agar gua tidak mengalami trauma yang sama.

Sayangnya tidak. Selalu saja ada hal yang sanggup menjatuhkan gua. Sebuah aib yang selama ini tak gua sangka sama sekali. Aib ini benar-benar ada loh!!

Dan karena sekarang gua sudah sadar dari tiga hari depresi, hanya ada dua pilihan untuk menghadapi situasi ini. Pertama adalah gua yang harus menyebarkannya sendiri, mengolok-olok diri gua sendiri di depan orang-orang yang ada di circle gua. Ngebuat mereka semua merasa terbiasa mengenai aib gua tersebut. Dan tentu saja gua sangat sadar kalau aib ini memiliki kekuatan lebih parah dari aib gua saat SMP. Lalu pilihan kedua adalah gua berdoa saja kalau aib tersebut tak disebar kemana-mana.

Dari pengalaman biasanya gua akan pakai cara pertama. Karena gua gak mau hidup penuh ketakutan dengan berharap privasi gua tak tersebar. Tapi kenyataan selalu mengatakan "pasti tersebar". Meskipun disimpan oleh orang yang kita percaya, selalu tak pernah ada jaminan kalau aib/privasi/rahasia kita akan tersimpan rapat. Tapi sepertinya untuk era sekarang, dua pilihan tersebut harus menjadi satu. Karena gua benar-benar gak tau apakah akan tersebar melebihi inner circle gua atau tidak. Apakah netizen Indonesia tertarik tentang aib ini atau tidak?

Lower expectation. Itu yang harus gua miliki. Saat depresi, gua berpikir apakah gua pantas jadi youtuber? Jikalau subscriber gua sudah banyak, apakah gua siap untuk menghadapi momen aib gua tersebut terbongkar?

Ada dua aib yang memalukan dalam hidup gua. Aib pertama sudah berhasil gua atasi, jadi kalau sampai terbongkar hingga luas cakupannya, gua merasa tak perduli, meskipun banyak penghakiman dan hujatan yang akan gua dapatkan. Kalau gua hitung, butuh waktu 10 tahun lebih hingga gua di lingkungan kantor sampai gua merasa bebas. Sedangkan aib kedua ini, entah butuh berapa lama sampai gua merasakan hal yang sama seperti menemukan kebebasan dari aib pertama tersebut.

Kalian tahu? Hal ini sangat mudah kalau kita tak punya perasaan. Sayangnya gua masih menjadi manusia yang punya perasaan normal. Memikirkan kejadian terburuk di masa depan saja sudah sangat melelahkan gua. Lagi-lagi gua harus struggle menghadapi hal yang gua takutkan akan terjadi sama seperti jaman SMP.

Gua sungguh ingin merasa dingin, tak berperasaan saat ini. Karena hanya dengan cara itu gua bisa bekerja dan membangun masa depan gua. 

Atau gua bisa mengambil cara ke tiga. Sudahi semuanya, tak perlu bertempur lagi dengan perasaan, pikiran, dan orang banyak. Terkadang gua berpikir, gua bisa mati dan yang akan selalu dikenang adalah aib gua. Gua memang tak ahli dalam hal pencitraan. Jadi gua biarkan saja lah ya. Anton Suryadi, mati dengan memalukan.

No comments

Ohh Getoo... Powered by Blogger.