“Bagaimana lagi
tuh kisah selanjutnya?” Tanya Billy yang mulai penasaran dengan ceritaku. “Tapi
jangan terlalu lama ya ceritainnya. Ingat, jam enam loh!”
“Oke-oke....
Tenang aja....” Dan aku pun kembali bercerita.
...
Ternyata sampai
akhirnya kelas 3 SMA, kami baru bisa mengobrol banyak. Aku dan April baru bisa
membangun sebuah hubungan yang lebih dalam ketika ia mulai menanyakan kepadaku
tentang sebuah pertanyaan ketika kami sedang ulangan biologi.
“Pssstt....
April!” Bisiknya dari belakang. Saat itu ia sedang duduk di belakang kursiku.
Aku pun menengok
sedikit sambil tetap awas memperhatikan mata guruku yang sedang duduk sambil
membaca novelnya.
“Nomor tiga
dong....” Pintanya penuh harap.
Aku cukup terkejut
kalau ternyata ia ingin menyontek jawabanku. Namun ini adalah pertama kalinya
ia meminta pertolonganku . Dan dengan rasa bahagia, dengan penuh senyuman dalam
hati, aku langsung berbisik pelan kepadanya.
“Acquired Immune
Deficiency Syndrome....”
“Hah apa? Akuir
apa? Eja donk....”
“A-c-q-u-i-r-e....”
Ejaku, yang tanpa tersadar volume suaraku makin keras.
“Apa? Jangan
cepet-cepet dong! A-c-q-u-i terus apa??” Volumenya pun juga makin keras.
Menyebabkan teman-teman yang ada di dekatku pada menengoki kami. Saat itu hanya
kami berdua yang sedang menyontek. Tapi untunglah, guruku masih sibuk
dengan novelnya, yang kulihat makin seru ia membacanya.
“A-c-q-u-i-r-e-d
udah?”
“Oke udah....
Terus-terus??”
Kira-kira tiga
menit kemudian, selesailah proses contek-menyontek kami. Dan selesai juga waktu
kami semua mengerjakan ulangan ini, yang lalu semua anak kelasku segera mengumpulkannya ke
depan, ke atas meja guru.
Dan saat aku mau
mengumpulkan kertas jawabanku, April langsung cepat-cepat berdiri mengikutiku
sambil tersenyum dan berbisik,”kita ngumpulinnya bareng ya....” Waktu itu aku juga
balik tersenyum terhadapnya, sambil berkata,”oke!”
Entah, saat itu adalah masa-masa terindah pertama yang kurasakan.
Entah, saat itu adalah masa-masa terindah pertama yang kurasakan.
“April dan April!”
Panggil guruku dengan nada yang cukup kasar ketika kami berdua sudah menaruh
kertas jawaban kami ke atas mejanya. “Nama kalian sama, dan kelakuan kalian pun
juga sama!”
Brrreeeetttttt....!!!
Aku dan April
benar-benar kaget dengan apa yang dilakukan Ibu Gina terhadap kertas ulangan
kami. Tiba-tiba ia merobeknya dan melototi kami dengan sangat tegas.
“Nilai kalian nol!
Dan tak akan ada perbaikan untuk kalian!”
Kemudian kami pun
langsung disuruhnya duduk ke kursi kami masing-masing tanpa belas kasih sama
sekali. Inilah resiko jika bersekolah di tempat yang benar-benar
menomor-satukan peraturan yang ada.Disiplin penuh adalah moto sekolah kami.
....
“Hahahahaha....
Jadi sejak saat itu kalian berdua mulai dekat? Lucu dah sumpah cerita kalian
berdua ini. Hahaha....”
“Iya betul. Memang
lucu sekali, tapi semua itu benar-benar sebuah kenangan yang indah, yang tak
akan pernah gua lupakan. Hahaha....”
“Oke-oke....
Sekarang mungkin gua mau tau banget, kenapa lu sampai bisa ngebohong ke dia
tentang elu itu gay?”
“Hah?! Lu tau dari
mana?!!”
“Dia sempat kali
cerita ke gua. Kami kan sudah kenal dua minggu.”
“Hhhh... gua gak
nyangka kalau dia sampai bocor. Padahal kan seharusnya hanya dia yang tau.”
“Nah, coba lu
ceritain dong. Kenapa bisa sampai begitu?”
“Itu karena gua
pengen ngajarin dia main piano....”
....
Walau awal
kedekatan kami adalah karena sebuah kenekatan yang berujung pada masalah yang
besar, tapi untuk hari-hari berikutnya hubungan kami selalu berisi dengan
hal-hal yang sangat menyenangkan. Ya untukku sih sangat menyenangkan, tidak
tahu bagaimana dengannya... hehehe....
Hari-hari
berikutnya pun kami mulai banyak sekali mengobrol dan terbuka, baik itu tentang latar
belakang keluarga kami, kesukaan kami, dan lain-lainnya. Bahkan kadang ia mulai
mencurahkan isi hatinya kepadaku, yang membuatku tersadar kalau ia sudah memberikan
kepercayaan penuh terhadap diriku ini. Kami benar-benar sudah seperti sedang pacaran, walau
kenyataannya malah sesuatu yang cukup membuatku menjadi sangat stress.
“Kamu tahu tidak
kalau sebentar lagi gua ulang tahun?” Tanyanya. Saat itu kami sedang makan
berdua di sebuah rumah makan padang yang nikmat pada malam hari, tepatnya malam
minggu.
“Iya tentu saja
tau. Dua minggu lagi kan, tanggal 29 November. Kenapa memangnya?”
“Hmm... gua nanti
bakal dibeliin piano loh sama bokap gua.”
“Waw! Enak dong!!
Lu kan memang dari dulu selalu pengen punya piano. Benar-benar mantep dah ultah
lu nanti. Hahaha....”
“Iya mantep
banget. Tapi sayangnya gua sama sekali gak tau gimana cara maininnya. Hhhh....”
“Ya elu nge-les
lah. Susah banget... hehe....”
“Lu tau gak, itu,
harga pianonya aja udah berapa puluh juta. Gua gak mau tambah nyusahin bokap
gua lagi kalau ngikut les piano segala. Kan mahal tauk!”
Tiba-tiba hatiku
tersentak, mendorong sebuah kalimat yang cukup nekat untuk diucapkan. “Hmm...
yasudah, gua nanti dah yang bakal ajarin elu. Gimana?”
“Hah??” Kagetnya
sambil melototiku. “Emangnya lu bisa mainin piano?? Gua gak pernah tau kalau lu
bisa??”
“Ya boleh dong
kalau masih ada rahasia yang belum terungkap dari diri gua. Hahaha....”
Hahaha... lagi-lagi aku berbohong kepadanya. Memang, aku pernah beberapa tahun
memainkan piano, tapi itu waktu aku masih SD, dan sekarang aku benar-benar sudah
lupa bagaimana cara memainkan tuts-tuts hitam dan putih itu.
Saat itu yang aku
pikirkan hanya kalau aku berencana untuk kembali mempelajarinya mati-matian selama dua minggu setiap pulang sekolah
di rumah, sehingga nantinya waktu sudah mengajari April, aku sudah terlihat
perfect kembali. Haha... cinta itu memang buta ya....
“Hahaha... tapi
beneran nih?? Gratis dong yah.”
“Iya gratis! Nanti
elu kasih tau aja kapan mau latiannya. Oke!”
“Bener-bener deh elu
ini adalah sahabat sejati gua habis!”
Lagi-lagi ia
mengucapkan kedua kata itu. ”sahabat sejati”. Ketika ia mengucapkannya, aku
hanya bisa tersenyum melihatnya dan tak berkata apa-apa lagi, yang lalu
langsung melanjutkan memakan makananku. Soalnya hatiku sungguh cukup kesal
dengan kedua kata tersebut, namun ia tak boleh tahu, aku belum siap untuk jujur
kalau aku sangat menyukainya.
“Ap, gua mau
tanya sesuatu sama elu.”
“Tanya ajah.”
“Kenapa sih elu
baik banget sama gua. Sejak kita berdua temenan, elu bener-bener udah ngelakuin
banyak hal buat gua, sedangkan gua hanya gitu-gitu aja ke elu.”
“Ah biasa aja
kali. Gua memang suka kok berbuat baik ke orang lain hehehe....”
“Iya, seperti
ngajarin gua matematik, terus nganterin gua pulang sekolah pake motor lu,
terus bantuin gua ngerjain tugas-tugas sekolah.... Gitu yah....”
“Hahaha....” Aku
sungguh kebingungan harus menjawab apa. Sampai akhirnya sebuah keputusan yang
bodoh pun dengan sangat tolol kulakukan. “Ya karena gua sudah memutuskan untuk
menjadikan elu sebagai sahabat gua dong. Sahabat sejati gitu loh.... Hehe....”
Responnya hanya
tersenyum, yang kemudian ia terlihat sedang mikir-mikir, dan kembali
menanyakanku sesuatu. “Elu gay ya?”
“Kagak lah!”
Jawabku dengan tegas. Aku kaget sekali dengan pertanyaannya tersebut.
“Yang bener?
Soalnya gak ada laki-laki yang sampai perlakuin cewek sampai kayak gini. Semua cowok
yang gua kenal, beneran deh-cuman elu yang beda habis sama gua.”
Aku pun berpikir
sejenak, dan dengan cepat sebuah kalimat ajaib keluar dari dalam mulut bau nan kotor nan bodoh nan tolol nan idiot
milikku ini! “Hmm... oke deh gua ngaku. Tapi elu jangan bilang siapa-siapa
ya....” Bisikku terhadapnya.
“Beneran elu
gay?!”
“Iyah.... Jadinya
gak apa-apa ya kalau kita terus bersahabat seperti ini....”
“Ya ampun
Ap.... Gua syok dah sumpah.”
....
“Bodoh!! Gua
bodoh!!!”
“Betul, elu memang
bodoh sekali!”
No comments