Gina di Dufan (Ending)
Wahana demi wahana sudah Gina
tunjukkan dengan terus menutupkan mataku dengan kain hitam sebelum
menaikinya. Ia pun menepati janjinya kalau kali ini tidak akan menaiki
wahana-wahana yang menyeramkan. Jadinya hanya permainan-permainan seperti
Bianglala, Poci-Poci, Gajah Bledug, Turangga-rangga, dan lain-lainnya lah yang
kami berdua nikmati bersama.
Namun matahari mulai terbenam. Aku
tersadar kalau sebentar lagi kami akan berpisah, yang berarti kebahagiaan ini
akan segera menghilang. Padahal kalau boleh jujur-kami ini sudah makin dekat, dan aku bahkan
sudah menganggap kalau ia adalah pacarku.
“Baiklah... ini adalah wahana
yang terakhir. Buka penutup matamu.”
Suasana terasa menjadi begitu tenang dan
jauh dari teriakan-teriakan banyak orang sebelum aku membuka penutup mataku.
Aku yang sedang duduk, dan kuyakin hanya berdua dengan Gina, akhirnya mulai
melepaskan kain hitam ini, kemudian melihat sesuatu yang tak kusangka-sangka.
“Ini kan danau??”
“Indah bukan pemandangannya?”
Saat kumenatap ke depan, kulihat
beberapa wahana yang sudah diterangi lampu-lampu kecil berwarna-warni yang
diiringi dengan langit yang telah gelap-gempita. Ada Bianglala, Hysteria, dan
pepohonan yang menjadi begitu indah karena diberikannya lampu-lampu kecil nan
terang juga.
“Sungguh memalukan....” ketusku
tiba-tiba.
“Maksudmu?”
“Mungkin hanya aku lah laki-laki
yang diperlakukan perempuan seperti ini. Seharusnya aku yang melakukannya,
bukan kamu....”
“Hahaha.....”
“Mengapa kamu tertawa?”
“Sandi sandii.... Kita kan baru
pertama kali bertemu. Mangkanya, kalau kamu memang berpikiran seperti itu, lain
kali kamu datang lagi kesini, dan kamu yang gantian tunjukin ke aku.”
“Hmm... baiklah.” Tiba-tiba
sebuah janji terucap dari mulutku.
Ia pun terdiam menatapku.
“Kita akan bertemu lagi suatu
hari nanti, dan aku akan menunjukanmu sesuatu yang lebih indah dan menarik dari
pada ini.”
“Serius nih? Hahaha....”
“Sumpah dehhh.... Janji aku.”
“Oke lah. Awas ya kalau kamu tak
datang lagi kesini dan mencari aku. Aku akan mengutuk kamu jadi kabul nanti!”
“Iya. Ini adalah janji seorang
laki-laki. Pasti akan kutepati!”
“Hahaha... kamu lucu deh
Sandi....”
Setelah itu kami berdua saling
tersenyum dan menatap, yang kini terasa makin dalam tatapannya tersebut. Aku
yang merasa makin lama makin ingin mendekati muka manisnya-tiba-tiba malah memutuskan
untuk berdalih dan mulai mengayuh perahu bebek ini. Ia pun mengikutiku mengayuhnya dengan muka sedikit kecewa hingga
akhirnya kami sampai di pelabuhan.
...
Waktu kini sudah hampir pukul
tujuh. Para pengunjung di Dufan pun mulai berbondong-bondong keluar karena
sebentar lagi tempat ini akan tutup. Dan pastinya, teman-teman sekelasku yang
sudah meninggalkan aku tersebut juga akan pergi ke bis untuk pulang.
“Baiklah, kita sudah sampai di
parkiran nih. Sekarang kamu cari bisnya.”
Hhhh... sebentar lagi aku tak
akan mendengarkan suara indahnya lagi. Aku merasa cukup sedih dan malas sekali
saat dimintanya untuk mencari bis tersebut. Tapi memang ini lah yang seharusnya
terjadi di akhirnya.
“Itu bisku.” Kataku sambil
menunjuk ke sebuah kendaraan panjang berwarna putih, yang dimana semua teman
dan guruku sedang berbaris masuk ke dalamnya.
“Hmm... kalau begitu, selamat
tinggal ya....” Katanya diikuti dengan tatapannya yang kini terlihat datar, yang ditahannya cukup lama beberapa detik.
Dan saat ia mulai berpaling
dariku dan berjalan selangkah dua langkah, dengan cepat aku memanggilnya,”tunggu!”
“Hey, aku harus ke papaku
sekarang.”
“Aku belum mengucapkan terima
kasih kepadamu.”
“Sandi..... kamu tak perlu
mengucapkan terima kasih kepadaku. Aku lah yang seharusnya berterima kasih
kepadamu.”
“Loh??”
“Hari ini adalah hari ulang
tahunku. Dan Tuhan sudah memberikan kado terindah untukku pada hari ini.”
“Hah?! Kenapa kamu tak bilang dari tadi??” Kataku sangat kaget.
“Seharusnya juga aku tak mau
bilang soal ini padamu. Tapi yasudah deh... hahaha....” Kemudian ia mulai
mendekatiku dan memegang kedua tanganku dengan kedua tangannya juga. “Aku
bersyukur karena temanmu sudah melemparkan botol air milikmu hingga sampai di
kakiku. Dan aku juga bersyukur karena kamu ditinggal oleh kelompokmu....”
“Kamu bersyukur karena musibahku hari ini????”
“Ihhh...... Ini namanya takdir
Sandiii.......”
Aku pun berpikir sejenak, dan
mulai tersadar dan mengerti akan kata-katanya tersebut. “Oh iya ya... hahaha”
“Aku akan sangat merindukan
kamu....” Entah seperti kilat atau apa, ia tiba-tiba memelukku dengan begitu
erat seperti saat ia mengikatkan kain hitam punyanya ke kepalaku. Saat itu aku
hanya bisa berdiri diam karena cukup kaget, namun perlahan mulai kedua tanganku
ikut memeluknya.
Aku tak ingin berpisah darimu Gina.... Jujur, aku ingin selalu
bersamamu....
...
“Ini dia! Si Bejo dari goa
gembel!! Hahaha...!!!!” Teriak salah
seorang anak laki-laki ketika aku sudah masuk ke dalam Bis. Yang lain pun
menjadi tertawa terbahak-bahak setelah mendengar teriakan kasarnya tersebut. Tapi aku
tetap berjalan menuju kursiku yang letaknya ada dimana saja, yang penting tak
ada satu pun orang yang duduk di sebelahnya.
“Sandi, benar-kalau kamu tadi
lebih memilih untuk kabur dari kelompok?!” Tanya Bu Yanti yang kelihatannya
lumayan kesal ketika aku masih mencari kursiku.
“Ya namanya juga dari tadi dia
mah kepengen berak terus Bu. Pasti ngorok dah tuh di kamar mandi sampe malam!
Hahahaha....!!!” Semuanya pun kembali tertawa terbahak-bahak. Bu Yanti juga terlihat
cekikikan.
Diperlakukan seperti ini,
rasanya aku ingin kembali menangis seperti biasanya. Mereka benar-benar tak
sadar kalau aku juga punya telinga yang bisa mendengar dan otak yang bisa
mengerti bahasa manusia. Tapi kemudian aku teringat akan Gina. Aku teringat
akan semua yang sudah diajarkannya padaku.
Dengan cepat, aku mulai merogoh
tasku, dan botol air 2 liter milikku pun akhirnya aku ambil. Lalu kutatap mata anak laki-laki tadi dengan tajam dan pastinya dengan tak menunduk.
Waktu ia balik melihatku, langsung saja kusiram kepalanya
dengan air yang tinggal setengah dari botolku tersebut.
Tiba-tiba semuanya terdiam.
“Kamu ngapain Sandi?!” Bacot Bu
Yanti.
Aku sama sekali tak meladeninya.
Aku tak mau bicara apa-apa pada mereka semua, karena kuyakin pasti akan menjadi
serba salah. Aku pun kembali jalan dan mencari kursiku.
Dan ketika aku sudah
mendapatkannya, aku mulai mendengar suara bisikan teman-temanku yang pastinya sedang membicarakanku, tapi aku tak memperdulikannya. Aku hanya ingin melihat keluar jendela dengan perasaan sedih karena telah berpisah dengan seorang malaikat penyelamat hidupku....
...
Terkadang, memang akan ada satu atau beberapa anak di setiap sekolah yang mengalami ketidak-adilan dari guru dan teman-temannya.
Dan untuk di hari yang terakhir ini, aku cukup menjadi seorang anak yang akan
mereka selalu ingat kalau aku pernah menyiram anak laki-laki yang cerewet
tersebut.
Aku bersyukur, karena semua
keberanian ini adalah berkat cinta pertamaku, yang entah-mungkin Tuhan secara
sengaja memberikannya di hari terakhir ini, agar aku dapat terus memiliki
semangat untuk melanjutkan kehidupan. Dan tentunya adalah memiliki harapan yang baru
agar aku bisa bertemu kembali dengan Gina dan menuntaskan janjiku padanya suatu hari nanti.
Tamat....
Tamat....
No comments