Gina di Dufan (3)
Sudah kira-kira seratus langkah
aku berjalan bersama Gina. Di dalam keadaan yang gelap gulita karena mataku sedang
ditutup dengan kain panjang berwarna hitam yang diikat begitu kencang, aku
benar-benar penasaran akan dibawa kemana lagi aku oleh perempuan ini.
“Gina, ini lagi ada dimana? Kok
berhenti-berhenti sih jalannya??” Tanyaku penasaran sambil tanganku yang sedang
mendekap tangannya yang halus (pertama kalinya nih aku memegang tangan
perempuan... hehe).
“Ini kita lagi mengantri. Kamu
tunggu saja beberapa menit lagi ya.”
“Baiklah nyonyaa....”
Ini adalah permainan dari Gina.
Setelah kami pergi dari dalam ruangan dingin dan redup istana boneka tadi, ia
memintaku untuk menurutinya memakai penutup mata. Katanya aku tak boleh tahu
setiap wahana yang akan kami naiki berdua.
Dari pendengaranku, ada banyak
sekali teriakan-teriakan yang asalnya dari atas. Mungkin aku akan dibawanya
untuk menaiki permainan yang menguji nyaliku. Apakah Halilintar?? Oh, aku
sangat tak sabar untuk menaiki wahana tersebut....
“Berapa lama lagi nih Gin? Kita
naik Halilintar kah??”
“Kamu akan tau sebentar lagi....”
Tiba-tiba tanganku ditarik
dengan kencang olehnya dan membawaku langsung ke tempat duduk, sekalian
dipakaikannya sebuah pengaman. Sepertinya ini bukan Halilintar karena kakiku
dibiarkan tak menyentuh lantai. Ya Tuhan, jantungku terus berdetak kencang,
apalagi setelah mendengar suara Pussshhhh....
Menandakan kalau ada asap yang keluar, entah darimana.
“Sekarang kamu boleh lepas
penutup matamu San!”
Setelah aku melepaskan kain yang
menutupi mataku ini, aku cukup kaget karena penglihatanku langsung tertuju pada
Gina yang ada di depanku.
“Kamu tidak ikut main??”
“Tidak! Aku sangat takut
ketinggian soalnya!”
Ketinggian?! Jantungku tiba-tiba tersentak waktu mataku mulai
melihat ke atas. Ya Tuhaannn...... ini kan Hysteria?!
“Maaf ya Sandiii..... Sekarang
nikmatin wahananya yaa....”
“Gina, apa yang ka.....” Dengan
cepat, tempat dudukku langsung melayang ke atas tanpa aba-aba. “AAAaaaaarrrrrkkkkkkkhhhhh......!!!!!!”
...
“Ginnnaaaa....!!” panggilku
setelah wahana gila tersebut selesai. Kakiku benar-benar sudah dibuatnya gemetaran.
Aku pun menjadi berpikir puluhan kali untuk menaiki Halilintar yang aku
idam-idamkan sejak dulu.
“Maaf Sandii....” katanya sambil
memegang bahuku.
“Hohhh..... sekarang bawa aku
pergi dulu dah dari sini.”
Setelah itu kami berdua pergi
dan duduk di bangku taman yang letaknya tak terlalu jauh dengan wahana
Halilintar. Disana ia menjelaskan padaku kalau ia tak pernah sekalipun menaiki
wahana-wahana yang mengadu nyali seperti tadi.
“Aku pikir kamu ini sangat
berani dan suka menaiki wahana-wahana seperti tadi Gin.”
“Maaf... aku pernah trauma pada
ketinggian. Walau aku sering sekali berada di Dufan, tapi aku hanya sering
menaiki wahana yang tenang-tenang saja.”
“Maksudmu sering sekali berada
di Dufan?? Kamu punya jalan rahasia ya untuk masuk kesini tanpa bayar??”
“Iya, aku punya jalan rahasia.
Yaitu ayahku. Ia bekerja disini menjadi boneka Kabul. Jadinya aku selalu bisa
masuk gratis sampai ayahku selesai kerja jam delapan malam nanti. Dufan ini
seperti rumah keduaku.”
“Enaknyaa.... Tapi apa tak bosan
selalu berada disini? Bagaimana dengan ibumu di rumah?”
“Ia sudah meninggal sejak aku
kelas 4 SD. Jadinya mau tak mau deh....”
“Huff... maaf ya....”
“Hahaha... tak apa. Aku sangat
senang bisa ketemu kamu sehingga kita bisa bersenang-senang disini....”
Di taman ini kami mengobrol
cukup lama. Ia pun sempat berkata kalau aku adalah teman pertamanya di Dufan
setelah setahun ia sering menetap disini. Ia begitu terbuka padaku, dan entah
napa, tiba-tiba muncul perasaan yang aneh dari dalam diriku kini.
Entah napa makin lama aku makin
merasa bahagia ketika sedang berada di dekatnya sekarang. Mataku pun tak bisa
berhenti menatap kedua bola matanya yang indah itu. Ya Tuhan, apakah ia adalah cinta pertamaku?
Beberapa saat kemudian,
tiba-tiba suasana yang indah ini berubah menjadi ketakutan. Mataku tiba-tiba
melihat sekelompok orang yang tak asing. Ya, aku melihat kelompokku yang sudah
meninggalkan aku tanpa rasa bersalah sedikitpun. Mereka semua terlihat sedang
bersenang-senang mengerjai Ibu Yanti dengan melempar-lemparkan topinya.
Lalu kenapa aku menjadi takut??
“Mereka itu kelompokmu kan?”
Tanya Gina sambil menunjuk mereka.
“Ohh... B...bukan kok.”
Bohongku. Rasanya aku tak mau bertemu dengan mereka karena lebih baik bersama
Gina di Dufan ini yang sudah membuatku merasa nyaman sekali. “Kita pergi saja
yuk.”
“Hmm... Yasudah. Sekarang lebih
baik kita ke tempat yang selanjutnya ya, yang sudah aku siapkan untukmu.”
Katanya tersenyum.
“Apa lagi nih??”
“Tenang saja.... Kali ini bukan
permainan yang mengerikan kok. Aku akan memperlihatkanmu sesuatu.”
“Awas ya kalau sampai kayak di Hysteria
tadi! Pokoknya jangan pernah bawa aku ke Kora-kora, Tornado, Halilintar, dan
sejenisnya! Kamu pun jangan tak naik
bersamaku! Oke!!”
“Iyaaa rajaa....”
Kemudian mataku mulai ditutupkan
lagi dengan kain hitam yang diikatkan oleh Gina dengan begitu kencang. Aku
hanya berharap kali ini ia akan membawaku ke wahana yang hanya ada aku
dengannya berdua....
....
Bersambung
No comments